Baca Juga
"Jangan marah-marah terus, Bos. Ingat anak-anak masih kecil masih perlu biaya sekolah. Kita belum kaya-raya," kata sang istri seperti ditirukan Fahri dalam sebuah kesempatan. Mungkin teguran sang istri pula yang membuat Fahri mengambil keputusan untuk tidak nyaleg pada Pemilu 2019 ini. Padahal sejumlah partai pun menyediakan karpet merah untuknya. Keputusannya tetap: tidak. Lain halnya dengan Bambang Soesatyo alias Bamsoet yang kerap menyelipkan pantun dalam setiap pidatonya. Kebiasaannya lumayan dapat mencairkan suasana. Dari mulai isu politik kiwari, pidato serius dalam rapat paripurna, pertemuan parlemen internasional hingga pidato kebudayaan pun, mantan jurnalis yang masih tercatat sebagai anggota PWI ini kerap menyelipkan pantun. Saat ramai-ramainya penunjukan cawapres yang mengejutkan dan semuanya diputuskan di menit-menit akhir -- sampai ada tokoh yang kaosnya sudah dikirim ke Istana tapi ngak jadi cawapres -- Bamsoet pun mengungkapkan keterkejutannya pada pertengahan Agustus lalu. Pak Jokowi peka bencana
Pergi ke Lombok nginap di tenda
Kiai Ma'ruf ibarat buah kelapa
Tak muda tapi banyak saripatinya. Pak Prabowo ketua Gerindra
Sering terima tamu di Kertanegara
Publik mengira akan tunjuk ulama
Ternyata wakil yang tak disangka. Bulan berikutnya dalam ajang Sidang ke-39 Parlemen Asean (AIPA) di Singapura, Bamsoet pun membacakan pantunnya dan mendapat tepuk tangan dari anasir parlemen serumpun. Pergi ke Singapura via Soekarno-Hatta
Tak perlu pake visa
Meski tantangan di depan mata
AIPA, Kamu bisa! Berlanjut Oktober lalu ketika pidato penutupan masa sidang, di akhir penuturannya, Bamsoet menyelipkan pantun buah semangka. Buah semangka buah mentimun
Ditanam petani turun temurun
Walau masa jabatan tinggal setahun
Kinerja DPR tidak akan menurun Pun, saat di Wellington, Selandia Baru, saat muhibah kebudayaan bersama musisi dan sejumlah pentolan Forum Pemred, di hadapan tamu-tamu di KBRI, Bamsoet kembali melontarkan pantun. Dari Jakarta ke Selandia Baru
Transit di Sydney membeli sepatu
Ayo perkuat hubungan dengan Selandia Baru
Agar rumpun Pasifik semakin menyatu Pantun Bamsoet lebih adem tetapi lain halnya puisi sarkastis Fadli Zon yang bikin panas orang atau kelompok yang diserangnya misalnya Ahok ketika jadi gubernur DKI Jakarta juga merasakan kritikan pedas, kemudian Presiden Jokowi yang mungkin paling banyak mendapatkan kiriman puisi Fadli Zon. Ketika bersimpati kepada warga Kampung Akuarium yang digusur Ahok, setidaknya Fadli Zon membuat dua puisi. Ini di antaranya. Sajak Tukang Gusur tukang gusur tukang gusur
menggusur orang-orang miskin
di kampung-kampung hunian puluhan tahun
di pinggir dan bantaran kali Ciliwung
di rumah-rumah nelayan Jakarta
di dekat apartemen mewah dan mall yang gagah
semua digusur sampai hancur tukang gusur tukang gusur
melebur orang-orang miskin
melumat mimpi-mimpi masa depan
membunuh cita-cita dan harapan
anak anak kehilangan sekolah
bapak-bapaknya dipaksa mengangggur
ibu-ibu kehabisan air mata tukang gusur menebar ketakutan di ibukota
gayanya Pongah bagai penjajah
caci maki kanan kiri
mulutnya srigala penguasa
segala kotoran muntah
kawan-kawannya konglomerat
centengnya oknum aparat
menteror kehidupan rakyat ibukota katanya semakin indah
orang-orang miskin digusur pindah
gedung-gedung semakin cantik menjulang
orang-orang miskin digusur hilang tukang gusur tukang gusur
sampai kapan kau duduk di sana
menindas kaum dhuafa tukang gusur tukang gusur
suatu masa kau menerima karma
pasti digusur oleh rakyat Jakarta
Terbaru, ketika Istana melontarkan istilah kasar Sontoloyo dan Genderuwo, kreatifitas Fadli Zon melahirkan puisi semakin menjadi-jadi. Fadli Zon, pengoleksi keris hingga cangkang rokok ini malah semakin terpancing untuk menembak Istana, termasuk pemilik jambang alias bewok pun jadi sasaran. Pada dasarnya, Fadli Zon memang seniman atau malah budayawan. Fadli termasuk donatur majalah sastra Horison yang menyebabkan majalah legendaris ini selamat dari malaikat pencabut nyawa. Sayangnya, puisi Fadli Zon bertepuk sebelah tangan. Apakah di Istana kekurangan stok orang yang bercita rasa seni atau seniman? Entahlah. Padahal setelah capek kerja, kerja, kerja ... rohani ini perlu juga asupan sekadar sebait puisi atau pantun. Sontoloyo! kau bilang ekonomi meroket
padahal nyungsep meleset
sontoloyo! kau bilang produksi beras berlimpah
tapi impor tidak kau cegah
sontoloyo! kau bilang pengangguran turun
orang cari kerja makin berjibun
sontoloyo! utang numpuk bertambah
rupiah anjlok melemah
harga-harga naik merambah
hidup rakyat makin susah
kau jamu tuan asing bermewah-mewah rezim sontoloyo!
Baru ketika Fadli Zon kembali membuat puisi tentang Genderuwo sebagai respons atas pernyataan Jokowi, balasan dari pihak lawan cukup lumayan. Politisi PPP Arsul Sani dan juga Inas Nasrullah dari Partai Hanura langsung membalasnya dari Senayan. Ada Genderuwo di Istana ada genderuwo di istana
tak semua orang bisa melihatnya
kecuali yang punya indra istimewa makhluk halus rendah strata
menakuti penghuni rumah penguasa
berubah wujud kapan saja
menjelma manusia
ahli manipulasi
tipu sana tipu sini ada genderuwo di istana
seram berewokan mukanya
kini sudah pandai berpolitik
lincah manuver strategi dan taktik ada genderuwo di istana
menyebar horor ke pelosok negeri
meneror ibu pertiwi Ini puisi jawaban Inas Nasrullah yang dikenal keras kalau menyinggung Fadli Zon dan Prabowo. Genderuwo, Ohh Genderuwo Katanya genderuwo di istana?
Ahh… rasanya gak masuk logika
Karena genderuwo senang di belantara kota
Dari hambalang ke dharmawangsa Arsul Sani pun yang juga Sekjen DPP PPP ini tak kalah sigap untuk 'membela' tuannya dengan membuat puisi tandingan. Ada Genderuwo di Senayan Ada genderuwo di Senayan….
Pretensinya menjadi wakil rakyat yang lumayan…
Tapi pretensinya mengundang tanya apa iya kesampaian… Sepertinya dalam enam bulan ke depan dari DPR akan lahir puisi dan pantun berikutnya. Begitu juga dari Istana akan muncul lema baru yang selama ini terpendam dalam kamus babon dan tesaurus lapuk selain istilah sontoloyo dan genderuwo. Nun jauh di sana, ada seorang bupati yang juga kecentilan dan ikut nimbrung, "Asu!" Emmm, dasar sontoloyo kabeh!
Editor: Sukma Alam